ETIKA PERIKLANAN
Nama : Hary Adi Laksono
NIM : 01218156
Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Iklan dianggap sebagai cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam perkembangan periklanan, media komunikasi modern : media cetak maupun elektronis, khususnya televisi memegang peranan dominan. Fenomena periklanan ini menimbulkan perbagai masalah yang berbeda. Periklanan dilatar belakangi suatu ideologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ideologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu. Ada dua persoalan etis yang terkait dalam hal periklanan. Yang pertama menyangkut kebenaran dalam iklan. Mengatakan yang benar merupakan salah satu kewajiban etis yang penting. Persoalan etis yang kedua adalah memanipulasi public yang menurut banyak pengamat berulang kali dilakukan melalui upaya periklanan.
Pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan dalam konteks kita.
Fungsi Periklanan
Dalam buku-buku tentang manajemen periklanan, iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya iklan tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsure persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah. Tercampurnya unsure informative dan unsure persuasive dalam periklanan, membuat penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks.
Periklanan dan kebenaran
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan mempunyai unsure promosi. Iklan merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri. Ia menandaskan bahwa produknya adalah yang terbaik atau nomor satu di bidangnya. Bahasa periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbol. Di sini si pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan public konsumen tahu bahwa retorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah. Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas yang berbunyi “semua mobil yang kami jual sebelumnya diperiksa oleh montir ahli” tetap berbohong, bila hal itu memang benar, tapi montir tidak berbuat apa-apa bila menemukan ketidakberesan serius pada suatu mobil. Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan tidak bias dipecahkan dengan cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan public untuk menerimanya atau tidak.
Manipulasi dengan periklanan
Masalah manipulasi terutama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Dikhawatirkan bahwa periklanan-seperti propaganda lain-bisa memanipulasi public. Tetapi sekarang pada umumnya orang tidak begitu takut lagi akan bahaya dimanipulasikan melalui propaganda dan periklanan. Namun demikian, tetap benar juga bahwa periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku konsumen. Contohnya : iklan kosmetika selalu berusaha menciptakan suatu suasana romantic yang khas, sehingga menggiurkan untuk public konsumen. Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang tidak etis. Tetapi, iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban” permainan. Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan :
a. Subliminal advertising Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio. Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa.
b. Iklan yang ditujukan kepada anak Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis.
Pengontrolan terhadap iklan
Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini : a. Kontrol oleh pemerinah Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan. b. Kontrol oleh para pengiklan Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia. c. Kontrol oleh masyarakat Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dengan mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan. Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan. Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di Indonesia ada Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Penilaian etis terhadap iklan
Ada empat faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan.
Maksud si pengiklan Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis. Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain.
Isi iklan Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti seperti laporan dari instansi netral. Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum.
Keadaan publik yang tertuju Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan. Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju. Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu.
Kebiasaan di bidang periklanan Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar. Seperti bisa terjadi juga, bahwa di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya.
IKLAN-IKLAN YANG MELANGGAR UU MAUPUN PERATURAN DAERAH
1. Iklan yang di Paku di Pohon termasuk menyalahi aturan
Jalan yang banyak dialalui orang menjadi tempat strategis untuk beriklan. Namun sayangnya hal itu tidak dibarengi dengan cara pemasangan yang benar. Masih banyak ditemukan iklan rontek yang dipasang dengan dipaku di pohon perindang. Cara lain yang digunakan seperti mengikatnya dengan kawat. Selain menggangu estetika, cara tersebut juga dapat merusak pohon serta membahayakan pengendara jalan yang melintas.
Kepala seksi penegakan dan penyidikan Satpol PP DIY, Sumantri, mengatakan ada peraturan tertulis di Perda DIY No.2/2017 tentang ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat yang mengatur bahwa setiap orang dilarang mencoret-coret, menulis, melukis, atau memasang iklan di dinding, tembok, atau pohon milik pribadi atau di fasilitas umum. Dalam rangka penegakan aturan, pihaknya pun telah sering mencopot iklan-iklan yang terpasang tidak sesuai aturan. "Satpol PP DIY dan Kabupaten bersama-sama menertibkan iklan-iklan tersebut. Rontek-rontek yang nempel di pohon-pohon kita cabuti. Sekali operasi biasanya bisa mengangkut hingga 1 truk,” ungkapnya.
Dalam Perda tersebut, pemasangan iklan harus mendapat izin sesui aturan yang berlaku. Dan di pasal 54 nomor 10, mengatakan bagi yang melanggar aturan pemasangan dapat dikenakan sanksi kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.
2. Iklan Rokok yang Tak Senonoh
Billboard tersebut tentu tak berdiri tegak menjulang dengan sendirinya. Ada sejumlah proses dan tahapan, hingga sang billboard bisa tampil di ruang publik. Dalam hal ini, pihak yang terkait dengan billboard itu, tentulah tak akan mendirikannya jika tidak diizinkan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas wilayah. Artinya, pemerintah DKI Jakarta telah memberi izin atas billboard itu. Dalam pemberian izin, sudah tentu sejumlah aspek yang terkait dengan billboard itu dicermati dengan sungguh-sungguh. Baik aspek teknis maupun aspek content terkait visualisasi serta teks yang menyertainya. Maka, ketika izin diberikan, kemudian billboard didirikan, berarti Pemprov DKI Jakarta menilai visualisasi serta teks yang menyertainya, adalah sesuatu yang pantas untuk ditampilkan kepada publik di ruang publik, melalui billboard.
Larangan Pemasangan Iklan Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Selain memproduksi, pelaku usaha periklanan juga dilarang untuk melanjutkan peredaran iklan yang melanggar ketentuan tersebut.
Sebenarnya, iklan yang dinilai tak senonoh oleh Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Anak dari Zat Adiktif itu sudah menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat, sejak beberapa hari sebelumnya.
3. Iklan yang Menggantung di Tengah Jalan
Iklan yang berada di tengah jalan dan di atas jalan raya ini melanggar pasal EPI nomor 4.5.5 yang berbunyi “bahwa iklan luar griya tidak boleh menganggu pandangan pelalu lintas”. Iklan tersebut melanggar karena dipasang ditengah jalan yang bisa menganggu pandangan pelalu lintas karena efek silau yang ditimbulkan banner.
IKLAN YANG ETIS
Iklan Videotron yang Memenuhi syarat
Megatron merupakan salah satu jenis reklame elektronik/digital. Reklame Megatron/Videotron/Large Electronic Display adalah reklame Elektronik/Digital yang menggunakan layar monitor besar. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame.
Komentar
Posting Komentar
youtube.com